Amplop Gaji
Seorang gadis melangkah malu-malu, mendekati saya.
Di tangannya tergenggam selembar amplop putih yg tampak robek ujungnya.
Dengan suara pelan ia berkata, “Pak puti nitip buat pembangunan asrama
putri.”
Saya melirik amplop yg putihnya itu, saya kenal. “Itu gaji kamu kan..? Pakai aja buat keperluan sehari-hari, kamu lebih perlu.”
Gadis itu adalah alumni MTs Fatahillah angkatan pertama, yg kemudian melanjutkan ke sebuah SMK Negeri mengambil jurusan komputer. Selepas SMKN ia memilih meringankan beban ibu yg membiayainya dengan kuliah di UT sambil terus menggenggam cita-citanya yg tinggi: mendalami Komputer di negeri Sakura.
Karena waktunya cukup luang, saya memintanya membantu mengajar anak-anak MTs Fatahillah untuk mapel TIK. Tak banyak jam mengajarnya, hanya beberapa jam per minggu. Tentu saja jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan seorang gadis yg baru lepas masa remaja. Tapi lihatlah, siang ini ia berdiri di depan saya.. menyerahkan amplop gajinya..
“Puti sudah mengambil yg Puti perlukan, dan yg ini buat pondok, yg jauh lebih memerlukan.”
Saya kembali menolak, tapi ia terus memaksa. Akhirnya saya terima juga dengan berat hati.. dan saat pandangan mulai memburam saya segera masuk ke rumah. Saya serahkan amplop itu kepada emaknya anak-anak untuk dicatat di laporan. Jumlahnya hampir 90 persen dari gajinya sebulan di Fatahillah.
Mungkin dibanding para pengusaha besar di luar yg beberapa kali membantu Fatahillah dalam jumlah yg sangat besar, donasi gadis ini terbilang sangat biasa saja. Tetapi jika dibanding dengan penghasilan dan kebutuhannya, donasi gadis ini bagi saya bernilai milyaran rupiah. Sangat mengharukan.
Saya jadi ingat cerita tentang semut kecil yg mengambil air sambil berlari-lari. Ketika ditegur oleh hewan yg lebih besar, “Hei semut apa itu yg kau bawa dgn tergesa-gesa..?”
“Aku membawa air, untuk memadamkan api yg sedang membakar Nabi Ibrahim Alaihis Salam,” sahutnya dengan percaya diri.
Kontan saja, hewan-hewan besar itu tertawa… “Hahaha, kamu itu mbok ya mikir, Mut… Air yg kamu bawa sangat sedikit, sedangkan api yg membakar Nabi Ibrahim sangat besar.. mana bisa..??”
Semut tersenyum, “Setidaknya aku telah membuktikan keberpihakan dan kepedulianku pada perjuangan sang Nabi.. itu yg terpenting.. bukan cuma diam berpangku tangan, hanya menonton saja orang yg sedang berjuang….”
#FatahillahMembangun
#PesantrenFatahillahCiketing
#AyoMondok
Source : Facebook Kyai Ahmad Iftah Sidik